Thursday, May 26, 2011

Mari Mengubah Jakarta!


Tgl 12 Mei 2011 yang lalu, Yayasan Interseksi kembali mengadakan Diskusi Dwi Bulanan, kali ini mengetengahkan permasalahan seputar tata kota Jakarta. Tema ini kami angkat karena DKI Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota Indonesia tampaknya tidak pernah sepi dari masalah. Banjir, polusi, kemacetan, dan kesemperawutan tata kelola Jakarta menjadi isu yang tidak pernah selesai untuk dibahas. Memang ketiga masalah tersebut sepertinya selalu melekat sebagai permasalahan yang dihadapi oleh kota yang berpredikat sebagai ibukota di beberapa negara seperti Tokyo, Hongkong, Bangkok, dan Singapura.

Warga Jakarta, yang selama ini menjadi objek kebijkan Pemda DKI (Pemerintah Daerah), sudah selayaknya terbantu dengan peraturan-peraturan dan pembangunan sarana kota. Namun pada kenyataannya jauh dari harapan, justru banyak warga yang merasa dirugikan. Para pekerja yang beraktivitas di pusat kota, dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk menempuh perjalanan dari rumah menuju kantor, dan sebaliknya.

Pertambahan volume kendaraan pribadi seakan menihilkan anjuran pemerintah agar warga Jakarta menggunakan kendaraan umum untuk mengurangi kemacetan. Pembangunan sarana seperti Jalan Layang Non Tol (JLNT), selain menambah macet ruas-ruas jalan di ibu kota, secara tidak langsung mendorong orang untuk terus membeli dan tetap menggunakan kendaraan pribadi.


Keruwetan angkutan di Jakarta, sebetulnya sudah dapat diprediksi sejak bertahun-tahun yang lalu ketika Orde Baru masih berjaya. Dengan semakin terbukanya peluang terhadap investor swasta dan asing untuk berbisnis di Jakarta, pembangunan tidak berhenti di kawasan segitiga emas saja. Ini sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an hingga saat ini. Area yang dulunya pemukiman warga, disulap dan dibebaskan untuk kepentingan ekonomi. Tempat tinggal warga bergeser semakin jauh ke daerah suburban, seperti Bekasi, Depok dan Tangerang.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seakan tidak sanggup menahan gempuran para pemodal besar yang ingin menyulap Jakarta menjadi kota megapolitan tanpa memikirkan dampak-dampak buruk hasil pembangunan tersebut.


Ledakan Jakarta makin tak terkendali, selain permasalahan demi permasalahan semakin menumpuk, juga adanya pembiaran-pembiaran terhadap pelanggaran, dimanipulasi, diakomodasi atau diputihkan. Korupsi juga masih menjadi penyakit akut turun-temurun serta pembangunan prasarana selalu tidak tepat waktu karena ketidakmampuan organisasional dan rendahnya kemampuan antisipasi proaktif oleh birokrasi terkait.

Dalam beberapa hal, Jakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai pada sepuluh tahun terakhir dimana terjadi peningkatan pengetahuan dan pewacanaan khalayak tentang apa yang baik dan seharusnya dilakukan untuk kemajuan Jakarta. Sebagian warga yang frustasi mungkin menganggap bahwa sampai kapan pun segala permasalahan Jakarta tidak dapat dipecahkan, mengingat tidak ada tanda yang menunjukkan kemajuan. Perlu diketahui, sebagian warga Jakarta juga tahu bahwa segala permasalahan Jakarta sebenarnya dapat dibahas dan diselesaikan secara rasional. Bahwa perbaikan itu mungkin, dan seringkali benar, warga lebih tahu apa yang baik untuk tempat tinggalnya daripada birokrat itu sendiri.


Problem kesenjangan pengetahuan dan aspirasi antara birokrasi dan warga ini semakin lama menjadi faktor yang penting dalam pembangunan Jakarta. Oleh sebab itu, sebenarnya relatif mudah merumuskan semacam konsensus tentang beberapa pokok permasalahan tentang Jakarta.

Melihat segala persoalan yang dihadapi Jakarta, Marco Kusumawijaya (Direktur Rujak Center for Urban Studies) yang menjadi pembicara pada diskusi menyampaikan bahwa, perlu adanya langkah-langkah konkret antara lain dengan meningkatkan Radikalisasi Do-it-Yourself, Radikalisasi Advokasi, dan Radikalisasi Demokrasi (terwujudnya Participatory/Deliberative Democracy).

Tanpa menunggu instruksi pemerintah, warga Jakarta secara mandiri dapat mengadakan perbaikan-perbaikan sikap baik yang bersifat individual maupun kolektif masyarakat dalam rangka transisi ke abad ekologis. Partisipasi warga juga diharapkan tidak cukup hanya lima tahun sekali saat memilih pemimpin mereka dan sekadar menyampaikan aspirasi, namun juga disarankan terlibat aktif pada perumusan rencana kerja serta implementasinya.


Pada sesi tanya jawab, Selwa Kumar, menyampaikan bahwa perlunya masyarakat membuat semacam APBD tandingan sebagai alat kontrol semua pengeluaran Pemda agar berjalan efektif dan tepat sasaran sesuai dengan rancangan program yang telah disepakati bersama. Ibu Ning Purnomo, mantan dosen pasca UI yang juga aktivis lingkungan, sekarang aktif di GBCI, mengeluhkan pencemaran logam berat timbal hasil pembakaran mesin kendaraan yang bisa merusak kesehatan manusia, khususnya anak-anak.

Saat ini sudah cukup banyak warga yang aware tentang kondisi lingkungannya, mereka berusaha menyampaikan aspirasi, namun seringkali aspirasi mereka tidak sampai kepada para pengambil kebijkan dan pada akhirnya hanya menjadi angin lalu. Dalam hal ini, Direktur Yayasan Interseksi Jakarta, Hikmat Budiman, memberi tekanan pada konsep tentang warga negara yang aktif (active citizen), yang harus ikut menentukan nasib Jakarta. Meskipun saat ini telah cukup banyak upaya warga untuk memberi tekanan kepada pemerintah Jakarta, tapi upaya-upaya tersebut cenderung masih berjalan sendiri-sendiri. Sekian banyak kanal penyaluran aspirasi warga, dengan demikian, membutuhkan upaya lain, yakni agregasi kepentingan warga Jakarta sehingga desakannya bisa lebih kuat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Pada akhir diskusi, Marco Kusumawijaya kembali mengingatkan, bahwasannya masalah di Jakarta sudah jelas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah “Bukan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki Jakarta, akan tetapi bagaimana cara kita untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik untuk kehidupan anak cucu kita dimasa mendatang?”



Moh. Nurul Shobah
Tulisan ini merupakan Laporan Diskusi Dwi Bulanan Yayasan Interseksi, 12 Mei 2011.

Wednesday, May 11, 2011

Menembus Tirai Asap : Tak Ada Dendam, Kami Hanya Ingin Merdeka Seratus Persen!

Tahun 1965 merupakan salah satu tahun paling bersejarah di Indonesia. Pada masa itu, bisa dikatakan sebagai titik balik  dimana terjadi transisi kepemimpinan dari Orde Lama yang kemudian melahirkan Orde Baru.
Selama Orde Baru berkuasa, belum pudar dalam ingatan kita, tepat pada peringatan hari kesaktian pancasila, kita selalu disuguhi film dokumenter Pemberontakan G 30 S/PKI 1965. 

Bagi masyarakat awam, sejarah (yang masih diragukan keabsahannya) yang diperlihatkan melalui film dokumenter tersebut sudah melekat di benak meraka. Tidak mudah memang untuk meluruskan sejarah yang selama bertahun-tahun telah mengendap di hati masyarakat Indonesia.

Setelah era Orde Baru berakhir, tidak sedikit sejarawan yang mulai merasa perlu untuk menyampaikan kembali kepada masyarakat mengenai hal-hal yang masih ganjil dan apa sebenaranya yang melatarbelakangi lahirnya tragedi G 30 S/PKI 1965 serta siapa tokoh yang paling berperan besar dan menikmati hasil tragedi berdarah tersebut?

Pada awal reformasi, gencar tuntutan untuk merevisi dan mengevaluasi kembali sejarah Indonesia modern. Para sejarawan menganggap bahwa penilaian atas sejarah Orde Baru tidak akan dapat dilaksanakan sebelum memahami secara mendalam warisan kejadian-kejadian tahun 1965.
Namun sejatinya dampak dari peristiwa 1965 tidak dapat dimengerti hanya dengan menghitung berapa banyaknya orang yang dibunuh, diculik, mendokumentasikan peranan Negara atau mengkritik sejarah resmi.
Yang diperlukan adalah pelacakan sejarah itu sendiri.

Dalam hal ini,  Indonesia tidak dapat selamanya mengabaikan catatan dari berbagai individu yang terlibat, atau menyaksikan, ataupun selamat dalam tragedi besar ini.
Menembus Tirai Asap menyajikan kesaksian sebelas tahanan politik 1965 dari berbagai latar belakang yang menjadi survivor dari masa traumatis tersebut.

Berikut sedikit keterangan mengenai sebelas tapol 1965 yang diceritakan dalam buku ini;

Zubaidi Hasan adalah seorang pilot Indonesia pertama yang siap menerbangkan MIG-21FL, pesawat canggih buatan Rusia. Dididik selama tiga setengah tahun di Rusia untuk menjadi pasukan penyerang udara dalam rangka “Ganyang Malaysia”, Pilot Angkatan Udara berusia duapuluh enam tahun itu harus mendaratkan karirnya secara paksa dipenjara tanpa diadili. Semua itu terjadi hanya beberapa bulan setelah ia dilantik menjadi Letnan Dua  ditahun 1969.

Tahun 1965, Dewa Ngurah Djenawi bukan hanya seorang pelajar menegah atas yang cerdas dan berwawasan luas. Ia seorang aktivis seni, olah raga dan organisasi, yang disemangati oleh rasa patriotisme yang tinggi. Belajar sejarah dan politik dari berbagai perpustakaan di Gianyar, Bali. Ia tumbuh menjadi pengagum dan pendukung Bung Karno. Ia bergabung dalam IPPI dan ikut menerbitkan buletin Benteng Soekarno, justru pada saat posisi politik Presiden R
Republik Indonesia itu sedang goyah.
Ganjaran yang diterima siswa teladan ini adalah sepuluh tahun mendekam dalam penjara, empat tahun lebih lama dari vonis yang diterimanya.


Kusnah, seorang Ibu yang mempunyai tiga belas orang anak ini dipisahkan selama sebelas tahun dari keluarganya. Ia meringkuk dan dipindahkan dari satu tahanan ke tahanan lainnya, mengalami siksaan yang masih tersisa di badannya hingga kini. Semua itu terjadi karena perempuan lulusan sekolah dasar ini pernah aktif dalam oragnisasi serikat buruh perusahaannya dan menyangkal tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia.


Sebut saja namanya Hartono. Aktivis Pemuda Rakyat ini mempunyai kemampuan organisasi yang tinggi, sehingga sering menjadi panitia untuk menyambut tamu-tamu Negara. Di kampungnya, ia dianggap sebagai orang istana. Aktivis Front Nasional ini ikut terseret gejolak tahun 1965, setelah dikejar-kejar dan ditangkap pada tahun 1973, mulailah perjalanan Hartono sebagai seorang tapol sampai pembebasannya di tahun 1979.


Oei Hiem Hwie, Aktivis Badan Permusyawaratan kewarganegaraan Indonesia dan wartawan terompet Masyarakata ini bercita-cita mewujudkan cita-cita sosialisme ala Indonesia, sesuai anjuran Bung Karno. Tetapi arus politik di tahun 1965 menghanyutkannya selama tiga belas tahun ke penjara-penjara besar di Indonesia, tetrmasuk Nusakembangan dan Pulau Buru. Perubahan orientasi dari Tiongkok ke Indonesia, dan konfliknya menghadapi berbagai kelompok yang berseberangan di kota Malang menunjukkan pluralitas masyarakat Tionghoa dan dinamika politik di tahun 1960-an.


Girot Wuntu,  berkali-kali ia bolak-balik hijrah dari hutan ke panjara, di jaman Jepang, jaman Revolusi, jaman perang Permesta, dan di jaman pertumpahan darah pasca 1965. Sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia di Minahasa, Girot Wuntu sempat mendekam di penjara selama lima belas tahun lamanya.


Meriana, mantan Aktivis Organisasi Pelajar ini sedang menyusui bayinya ketika menjadi tapol dan terpaksa membawa bayinya dari satu penjara ke penjara lainnya selama dua tahun. Berkat kegigihannya, anak itu mendapat tempat yang aman di luar penjara. Setelah berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dari permainan kekuasaan dalam dua belas tahun masa tahanan, mulailah perjuangan sang Ibu untuk mendapatkan putranya kembali.


Ngatimin Hadipranoto, Kopral Dua ini mengalungi Satya Lencana Teladan dan mendapat penghargaan Kaca Perkasa. Ia pernah dikirim ke medan pertempuran di Aceh untuk menumpas pasukan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan di Medan untuk menghadapi “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia Perjuangan Semesta” (PRRI/Permesta). Tapi pergolakan tahun 1965 mengubah secara drastis statusnya. Ngatimin yang sebelumnya dibanggakan sebagai salah satu pasukan Negara kini harus menjadi tahanan politik.

Ratih adalah putri sulung seorang aktivis PKI. Ia ditangkap bersama ibunya oleh polisi, hanya selang satu hari setelah ayahnya diciduk Corps Polisi Militer pada tanggal 17 Oktober 1965. Sejak saat itu, Mahasiswa Kedokteran, Universitas Gadjah Mada yang juga aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) ini menjalani masa tahanan dari satu penjara ke penjara lainnya bersama sang ibu meninggalkan enam adiknya, Ratih bersama neneknya di rumah mereka di Yogya. Ratih hanya sempat sekali berjumpa dengan ayahnya, ketika truk yang mengangkat tapol dari penjara lain ke Wonosobo berhenti di tempat penahanan dia. Setelah bebas, Ratih mulai mencari jejak ayahnya dari satu tempat ke tempat lainnya.


Sartono, sebagai seorang pendatang dari Jawa di Irian Jaya di tahun 1969, Sartono (bukan nama asli) terkena rumus politik yang dikeluarkan oleh Pangdam Cendrawasih pada waktu itu., yaitu, “pendatang Jawa sebelum tahun 1965 adalah PKI Tugas, pendatang Jawa sesudah 1965  adalah PKI pelarian.” Maka masuklah bapak lima orang anak ini ke tahanan selama sembilan tahun, dari penjara Koblen di Surabaya, Nusakembangan, sampapi Pulau Buru. Walaupun getir dirasakan selama menjadi tapol, namun Sartono tidak pernah kehilangan semangat dan kegembiraan.


Sumilah, saat itu perempuan ini masih berumur empat belas tahun, ia dimasukkan ke penjara hanya karena kebetulan namanya sama dengan seorang guru yang dianggap terlibat peristiwa 1965. Sampai umurnya berlipat dua, gadis yang hanya sempat menyelesaikan sekolah sampai kelas empat sekolah dasar ini juga sama dengan lainnya, harus mendekam dari penjara ke penjara lainnya.


Hidup di tahanan memang jauh dari rasa aman dan nyaman, selama mendekam di penjara, mereka hanya mendapatkan tiga kali tiga suap nasi dengan lauknya hanya tahu dan tempe sehari.
mereka sering mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Disiksa dan diperlakukan layaknya hewan. Sebagian besar dari mereka ditangkap dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Ketika pertama kali sampai di tahanan, mereka langsung diinterogasi oleh tim dari kejaksaan. Anehnya, semua bentuk pertanyaan harus mereka jawab dengan kata-kata “iya, atau benar”, jika menyangkal, mereka hanya akan mendapatkan siksaan yang lebih parah. Bukan hanya siksaan terhadap dirinya sendiri, mereka juga mengalami kekerasan dan sikasaan mental, yaitu dengan dipaksa menyaksikan tahanan-tahanan lainnya disiksa dihadapan mereka sendiri. Trauma ini juga masih dirasakan oleh sebagian eks tapol 1965 hingga kini.

Setelah mereka dibebaskan dari tahanan, mereka masih harus merasakan siksaan psikis. Banyak masyarakat yang belum bisa menerima kehadiran mereka kembali. Stigma sebagai eks tapol PKI sangatlah menyiksa. Mereka masih merasa terjajah, tidak aman lahir dan batin, akan tetapi mereka mengaku tidak mendendam, namun yang mereka inginkan hanya satu, “Kami ingin merdeka seratus persen!”


Buku ini merupakan hasil wawancara yang dilakukan oleh H.D Sasongko dan para koleganya dengan sebelas eks tapol  (Tahanan Politik)1965 mengenai sekelumit kisah mulai dari awal penangkapan hingga mereka menjalani hari-hari yang mengenaskan selama menjalani tahanan. Kisah mereka mungkin luput dari pengamatan masyarakat luas. Beberapa kasus inilah yang menggelitik para sejarawan untuk meninjau ulang sejarah resmi Indonesia modern. Tentu masih banyak ribuan eks tapol yang masing-masing dari mereka mempunyai kisah pahit tersendiri.


Moh. Nurul Shobah