Monday, April 4, 2011

Pengusutan Pelanggaran HAM Berat Hanyalah Permainan Para “Kuasa Kegelapan”

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan.

Paragraf  diatas  merupakan sinopsis ringkas dari sebuah buku karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H yang berjudul, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”. Sebuah catatan  menarik yang menggambarkan betapa HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membangun dan menguatkan peradaban umat manusiat di jagad raya ini.

Jelas menjadi suatu kewajiban Pemerintah untuk menegakkan HAM di negara demokrasi ini, namun realitasnya malah yang terjadi sebaliknya, Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru melalui perangkatnya, negara yang menjadi pelaku pelanggaan HAM. Di Indonesia, pada zaman orde baru masalah ini sepertinya sudah menjadi rahasia umum.

Membaca buku Stagnasi HAM Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia tahun 2001, mengingatkan kita akan beberapa kasus pelanggaan HAM berat yang seolah-olah sampai detik ini hanya dibiarkan saja tanpa ada upaya untuk mengusut tuntas siapa sebenarnya yang menjadi aktor intelektualnya. Beberapa kasus yang tidak mungkin kita lupakan adalah Pembantaian di Tanjung Priok, Kasus Pembantaian terhadap Jamaah Warsidi di Talangsari, Lampung, Kasus Trisakti atau yang dikenal dengan Kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, kemudian Kasus Penghilangan Paksa terhadap 14 Aktivis.

Sebenarnya secara kasat mata melalui laporan dari KOMNAS HAM, beberapa kasus diatas sudah dapat diketahui siapa saja aktor-aktor yang bermain dibalik peristiwa-peristiwa tersebut, namun sekali lagi, semuanya menjadi lunglai dan seperti lemah syahwat ketika kasus-kasus tersebut dibawa ke meja hijau. Mengapa demikian, sebelum menguraikan beberapa alasannya, menarik untuk membaca prolog buku Lapoan Tahunan KontraS tahun 2011 yang disampaikan oleh Mantan Calon Ketua KPK, Bambang Wijoyanto, SH, LLM.

Dalam sambutannya, Bambang mengatakan pengusutan beberapa kasus pelanggaan HAM berat di Indonesia tidak akan pernah bisa bejalan optimal jika “Kuasa Kegelapan” masih menduduki pos-pos strategis di republik Ini. Dengan jabatan yang mereka tempati, mereka mempunyai kekuatan untuk melindungi dirinya dari jeratan hukum.



Kegagalan Reformasi

Masa reformasi seharusnya menjadi kesempatan emas untuk melakukan reformasi hukum dan HAM secara fundamental, akan tetapi kekuasaan reformasi sepanjang tahun 2001 masih bertindak setengah hati, bahkan mungkin secara sengaja dan sistematis tidak melakukan usaha dan upaya yang sungguh-sungguh, terencana dan mendasar serta mengingkari penyelesaian kasus-kasus  kejahatan kemanusiaan masa lalu.

Didalam suatu poses transisi, problem dan konflik yang dihasilkan oleh penguasa masa lalu harus mampu dikelola dengan baik oleh rezim tansisional. Selain itu, pemimpin transisional juga harus dapat meletakkan dasar dan arah perubahan secara komprehensif, berkelanjutan dan konsisten pada nilai dan prinsip demokrasi. Di dalam konteks ini, keberhasilan dari rezim transisional, misalanya, salah satunya kemampuanmelakukan dealdengan kekuaasaan dalam menyelesaikan kejahatan kemanusiaan masa lalu dengan berbagai implikasinya yang dapat menjadi indikasi awal akan gagalnya kekuasaan dalam mewujudkan konsolidasi demokratik.

Melalui Partai politik yang notabene sebagai representasi masyarakat, kita berharap mereka  menyampaikan aspirasi agar kasus-kasus pelanggaan HAM berat harus tetap diusut sampai diketahuii jelas siapa pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Namun sayang sekali, harapan-harapan besar itu kemudian seolah-olah hanya menjadi mimpi di siang bolong tatkala kasus kejahatan kemanusiaan mengalami proses politisasi yang didasarkan atas“deal dan kompromi” politik diantara kalangan elit politik dan pemegang kekuasaan. Dengan begitu, suatu kasus kejahatan kemanusiaan tidak diletakkan dalam perspektif kepentingan korban kejahatan dan penegakkan HAM, tetapi sejauh mana elit politik tertentu mendapatkan suatu keuntungan politik atas sikap dan putusan politik yang dilakukannya.

Tentu saja dalam kompromi politik seperti ini, hukum tidak ditempatkan pada porsi semestinya, tetapi hukum hanyalah menjadi suatu komoditas bagi kepentingan politik kelompok tertentu. Selanjutnya, ujung dari tujuan hakiki penanganan kasus kejahatan kemanusiaan direduksi menjadi bagian dari komoditas dagangan politik semata. Miris, tapi memang inilah realitas yang sekarang kita hadapi, entah bagaimana nanti ujungnya.  

Pada akhir-akhir ini, kondisi hak asasi manusia di Indonesia secara umum sangatlah memprihatinkan. Ancaman terhadap pekerja dan aktivis pembela hak asasi manusia dan demokrasi meningkat selama tahun 2010. Ini termasuk ancaman terhadap wartawan yang mulai mendapatkan risiko kehilangan nyawa. Di sisi lain, kasus ancaman hingga kekerasan yang terjadi terhadap aktivis HAM dan demokrasi tak kunjung dapat diselesaikan. Hal ini sesuai dengan Laporan Tahunan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tentang situasi HAM tahun 2010. Dalam salah satu catatannya, KontraS menilai kekerasan HAM sepanjang tahun 2010 tidak hanya didominasi aparat negara, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap masyarakat sipil lainnya, (Kompas, Senin, 21 Maret 2011).

Masih segar dalam ingatan kita, tiga korban jiwa jatuh dalam aksi penyerangan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah pada Senin (7/2/2011) di Cikeusik, Kecamatan Pandeglang, Banten, sementara puluhan lainnya terluka. Pemerintah, melalui aparat keamanan yang kita harapkan menjadi pihak yang harus menjaga keamanan justru meng-absen-kan diri pada saat-saat yang diperlukan. Insiden ini menjadi tragedi terparah dalam kehidupan HAM dalam beragama di Tanah Air.

Sejauh ini masih dalam proses bagaimana hasil dari pesidangan kasus tesebut, sudah selayaknya para pelaku mendapatkan hukuman setimpal sesuai dengan perbuatan biadabnya.
Dalam perjalanan panjang yang akan dilalui negara demokrasi ini, apakah kondisi HAM dan demokasi serta pengusutan pelanggaran kejahatan kemanusiaan berat akan mengalami kemajuan? berkaca pada beberapa penanganan pada kasus-kasus sebelumnya yang berakhir pada kompromi politik, masih pantaskah kita optimis akan adanya kemajuan kondisi HAM dan demokrasi di Indonesia?



Moh. Nurul Shobah