Thursday, March 3, 2011

Antara Prestise dan Nasionalisme?


“Ada yang masih aku sayangkan.  Mungkin juga disayangkan oleh ribuan orang.  Mengapa kau hanya nulis dalam Belanda? Mengapa kau hanya bicara pada orang  Belanda dan mereka yang mengertinya? Kau tak berhutang budi sedikitpun pada mereka seperti pernah dikatakan oleh ibumu. Apa yang kau harapkan dari mereka maka kau selalu bicara pada mereka?”.  Seloroh Jean Marais kepada Minke.

Kemudian dengan nada tinggi dan sedikit memaksa Jean melanjutkan, “Kau Pribumi terpelajar Minke!, kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mreka jadi terpelajar. Kau harus, harus , harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu”.

Kalimat itu selalu menghantui Minke, membuatnya marah besar, gusar dan dirinya merasa dihina habis-habisan. Seorang terpelajar, berprestasi, lulusan sekolah H.B.S tidak pantas menulis melayu. Lagian siapa pula yang akan membaca jika Dia harus menulis melayu? Melayu hanya untuk orang-orang yang tidak berpendidikan, orang-orang miskin. Sedangkan masyarakat sudah terlanjur mengenal tulisannya dalam bahasa belanda yang indah, mendekati  sempurna. Bukan saja isinya yang berbobot, namun juga keindahan dan susunan katanya.

Pada kesempatan lain Jean Marais mengutarakan pendapatnya, bahwa tulisan melayu bukanlah kebudayaan yang rendah, karena ada wartawan keturunan Belanda yang juga dengan senang hati menulis melayu, Kommer namanya. Biarpun bukan warga keturunan asli Indonesia, Kommer dengan bangga menulis melayu. Ini dilakukan semata-mata karena begitu besar rasa cinta yang Dia miliki untuk bangsa Indonesia. Dia ingin memberikan pendidikan dan informasi kepada pribumi yang sebagian besar tak terpelajar. Mereka hanya tahu tulisan melayu dan sama sekali tidak mengerti bahasa belanda. 

Banyak terjadi ketidakadilan terhadap pribumi bukan hanya dilakukan oleh Kolonial akan tetapi pelakunya tidak jarang asli pribumi sendiri yang menghamba kepada Kolonial. Untuk itu Dia berhasrat kuat untuk selalu menulis melayu demi pribiumi. Kommer pula yang dulu turut menyebarkanluaskan perkembangan informasi terbaru  terkait hasil persidangan keluarga Nyai Ontosoroh atau Sanikem nama aslinya (red: Mama) serta menerjemahkan tulisan-tulisan advokasi Minke. Melalui tulisan melayu Kommer, Minke dan keluarga Nyai Ontosoroh semakin mendapatkan simpati  dari masyarakat luas. Bukan hanya pribumi sekitar Wonokromo tapi seluruh daratan jawa. Minke patut berterima kasih kepada Kommer.

Jean Marais sadar betul bahwa minke adalah aset Bangsa Indonesia yang sangat langka dan berharga. Pengalaman-pengalaman pribadinya dan keluasan pengetahuan serta kecerdasannya dalam menulis dan mengolah kata dapat dimanfaatkan untuk mengangkat harkat pribumi dari ketertindasan. Gaya tulisan Minke yang mirip multatuli semakin menegaskan bahwa Minke sangat berpihak kepada kemanusiaan, menolak kebiadaban, anti penindasan, fitnah dan kecurangan. Hal ini sangat disayangkan jika Minke harus menulis hanya dalam bahasa belanda yang banyak tidak dimengerti oleh pribumi.  Mereka hanya tahu tulisan melayu.

Ironis memang  jika masalah nasionalisme Minke justru malah sering dicekoki oleh Jean Marais, orang yang notabene bukan asli Indonesia. Jean asli Perancis, datang ke Indonesia menjadi tentara gabungan Belanda yang ditugaskan untuk menumpas kegigihan perlawanan rakyat Aceh, namun kemudian keluar dari pasukan Belanda karena merasa bahwa kolonialisme adalah kebiadaban yang harus dilenyapkan dari muka bumi.  Kakinya pincang akibat peperangan yang ia jalani. Jean Marais kemudian berteman dekat dengan Minke, dan cukup berpuas diri menjadi pelukis.

Minke memang semakin dikenal luas, setelah aktif meng-update perkembangan berita hasil persidangan yang melibatkan perseteruan antara Ir. Maurits Mellema dengan Nyai Ontosoroh yang tidak lain adalah mertuanya sendiri dalam  kasus perebutan aset kekayaaan.  Sebenarnya ini bukan perseteruan tapi lebih tepat  dikatakan  sebagai tindakan kesewenang-wenangan kolonial dalam merampas hak pribumi.  Begitulah yang namanya kolonial, dimana-mana selalu menjadi iblis, kejam dan biadab. Melalui tulisan-tulisannya, Minke kemudian dikenal luas sebagai pribadi yang genius.

Dilema memang jika Minke harus menulis melayu, walaupun jauh hari sebelum Jean Marais memaksanya, Ibundanya sendiri telah memintanya untuk melakukan itu, namun harapan ibunya tidak diindahakan. Tetap saja Minke pada pendiriannya bahwa melayu hanya untuk orang yang tidak berpendidikan. Dan Minke tidak termasuk dalam golongan itu. Minke adalah siswa teladan, dengan segala kecerdasan dan prestasinya, menulis melayu hanya akan menurunkan prestisenya. Minke tetap bersandar dan bertahan pada keegoisannya.

Suatu waktu pada obrolan kecil, Kommer mengatakan, “Minke, sudah saatnya kau menulis melayu, bicaralah pada bangsamu sendiri, kau lebih dibutuhkan bangsamu sendiri daripada bangsa apa dan siapapun, Kau harus lebih mengenal bangsamu sendiri Minke”.

Pernyataan Kommer Tentu saja sontak membuat Minke shocked dan hatinya tertusuk tiada tara. Bagaimana tidak, Dia yang sedari lahir sampai hidupnya sekarang menghabiskan waktunya di negaranya sendiri dikatakan sebagai orang yang tidak mengenal bangsanya sendiri. Menyakitkan tapi mungkin memang begitulah nyatanya. Minke tidak sadar akan hal itu. Dia tetap bergeming bahwa Kommer salah menilai dirinya. Minke hanya asyik mempelajari dan membanggakan budaya Eropa dan Negara-negara diluar sana, sedangkan dengan bangsanya sendiri, Dia hanya dapat melihat dari permukaan luarnya saja, tanpa tahu apa yang mereka rasakan, jalani dan pikirkan. Namun Dia yakin pada pendiriannya, suatu saat jika sudah tiba waktunya, Minke akan membuktikan bahwa semua yang disangka Kommer keliru.

Liburan di Tulangan

Tak pernah terfikirkan sebelumnya jika Mama akan mengajaknya jalan-jalan melepas penat. Karena Minke mengenal betul siapa mertuanya. Mama dilihatnya sebagai sosok yang ulet, giat bekerja, serius, dan praktis Minke tak pernah menjumpai mama bercanda, barang sekalipun, terlebih setelah Annelies meninggalkannya untuk selamanya. Walapun Minke terlibat banyak hal dalam pengelolaan perusahaan pribadinya, namun secara keseluruhan Mama lah  yang mengontrol laju operasi perusahaan. Memang Minke dan Mama terlalu letih memikirkan masalah yang datang bertubuitubi seolah-olah enggan menghindar dari keluarga kecil itu.

Dalam beberapa hari kedepan Mama mengajak Minke liburan ke Tulangan, sidoarjo, berkunjung ke rumah orang tua Mama, meskipun sebenarnya Mama sendiri sudah tidak memperdulikan apakah ia masih mempunyai orang tua atau tidak, yang ada dipikirannya adalah ingin sekali menghirup udara luar, jauh dari lingkungan tempat tinggalnya sendiri. Sekedar me-refresh pikiran barangkali.

Minke harus berterima kasih kepada Mama, sebab Di Sidoarjo, Minke menememukan banyak hal baru yang luput dari pengamatannya. Pada liburan ini, minke berkesempatan untuk lebih jauh mengenali bangsanya sendiri. Cerita memilukan sebagai seorang gundik yang dulu dialami oleh mertuanya ternyata harus terulang kembali. Kali ini menimpa Surati yang tak lain adalah kemenakannya Mama. Bukan Minke namanya jika apa yang dilihatnya tidak ditulis, kisah penjualan harga diri Surati oleh Bapaknya, Paiman, kepada Tuan Besar Kuasa Administratur, Frits Homerus Vlekkenbaaij, atau masyarakat Sidoarjo lebih senang memanggilnya Tuan plikemboh, digambarkan secara apik nan empatif dalam novel ini.

Pada suatu kesempatan lain, Minke berjalan menyusuri desa-desa di Tulangan. Langkahnya terhenti oleh suara teriakan dari salah satu rumah bambu. Karena penasaran, Minke menghampiri rumah tersebut. Penghuninya seorang petani bernama Trunodongso, mungkin satu-satunya petani yang berani melawan pegawai pabrik tebu. Pada masa itu, setiap petani harus menyewakan sebagian besar lahannya untuk ditanami tebu demi kepentingan dagang Belanda.

Berbeda dengan petani-petani lainnya, Truno berani melawan kebijakan pabrik gula, bahkan dengan nyawanya sendiri Dia rela berkorban demi mempertahankan pendiriannya. Truno selalu mengacungkan parang jika ada utusan/pegawai pabrik gula yang datang ke rumahnya bermaksud menyewa ladangnya. Saat itu memang tak ada petani lain yang berani melawan seperti Truno. Truno patut berbuat itu,  Lain daripada petani kebanyakan, Trunodongso enggan menyewakan tanahnya untuk kepentingan pabrik gula. Bukan tanpa alasan, karena perusahaan gula selalu melakukan Wan Prestasi. Perjanjian sewa selama 18bulan, secara sepihak diperpanjang menjadi 24bulan. Ini juga diperparah dengan realisasi uang yang diberikan jauh dibawah standar dari harga sewa tanah yang telah disepakati dalam perjanjian.  Trunodongso adalah satu dari sekian banyak penderitaan yang dialami oleh para petani.

Dari pengalaman berinteraksi secara langsung dengan penderitaan Truno, minke menyadari bahwa apa yang dulu disampaikan Kommer jika dia tidak mengenal bangsanya sendiri adalah tidak salah. Sebagai sesama pribumi, dengan modal sebagai jurnalis, Minke berkeinginan agar suatu saat nanti dia dapat menulis di rubrik khusus mengenai kasus Truno di surat kabar yang selama ini menampung tulisannya, setidaknya melalui tulisannya diharapkan dapat sedikit membantu beban para petani.

Sepulang dari Liburan di Tulangan, Minke langsung menemui Marteen Nijman, pimpinan redaksi surat kabar S.N v/d D, tempat yang sejauh ini bersedia menampung segala ide dan karya-karyanya. Ketika ditunjukkan naskah cerita tentang kehidupan Trunodongso, seketika Nijman mengernyitkan dahi. Dia mengatakan bahwa tulisan ini akan berdampak besar pada keberlangsungan pabrik gula. Cerita Truno berpotensi membangkitkan semangat kaum petani untuk bergerak secara massif melawan atau bahkan menghancurkan pabrik gula.

Haram hukumnya bagi Nijman untuk mempublikasikan tulisan Minke yang beraroma menggugat perusahannya sendiri. Dengan naif, akhirnya Nijman menyampaikan kepada Minke bahwa kali ini S.N v/d D tidak bisa memuat karyanya. Belakangan Minke tahu bahwa S.N v/d D adalah surat kabar dibawah naungan pabrik gula. Surat kabar ini seolah-olah menjadi juru bicara kolektif melalui tulisan-tulisan yang dibuat demi menjaga nama baiknya, mempertahankan keberlangsungan perusahaan gula itu sendiri. Nijman akan meloloskan semua tulisan dari siapapun sebatas dia tidak mengancam operasional pabrik gula.

Akhirnya Minke sadar betul, bahwa media ini tidak idealis atau setidaknya berperan sebagai media massa pada lumrahnya. Sama sekali dia tidak menyangka, bahwa ternyata tanpa disadari Dia secara langsung terlibat menjadi bagian dari proyek kolonialisme.
Sungguh Menyakitkan!

Pengalaman-pengalamannya melihat ketidakadilan selama liburan di Tulangan, setidaknya membuka hati Minke bahwa banyak yang tidak beres di negerinya. Ada sesuatu yang harus dia lakukan. Pada akhir cerita, tidak dijelaskan secara rinci, apakah demi bangsanya, akhirnya Minke bersedia menulis melayu atu tidak.
Lembar-lembar berikutnya, novel ini banyak menggambarkan seputar perlakuan tidak adil yang harus diterima oleh pribumi akibat kebiadaban kololial Belanda. Kembali, seperti pada novel sebelumnya “Bumi Manusia”, kisah dalam “Anak Semua Bangsa” pun diakhiri dengan kejadian pedih, yaitu perampasan asset perusahaan Mama yang dengan jerih payah bertahun-tahun Ia kembangkan, harus diserahkan kepada anak mendiang suaminya dari istri pertamanya di Belanda, Ir.Maurits Mellema, sesuai dengan keputusan pengadilan yang telah ditetapkan.


Tulisan ini merupakan ringkasan dari salah satu novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa. Tentu Banyak pesan moral didalamnya, namun saya lebih tertarik dengan konflik batin yang dialami Minke terkait dengan dorongan kuat dari orang-orang yang berada disekelilingnya agar Minke menulis dalam bahasa melayu demi Bangsanya. Disisi lain Dia masih berpegang kuat pada pendiriannya, bertahan pada keegoisannya bahwa Dia, mantan siswa H.B.S, sekolah paling prestisius pada jamannya, samasekali tidak layak menulis melayu karena hanya akan menurunkan martabatnya.
“Tulisan melayu hanya untuk kalangan pribumi tak terpelajar”, ujarnya.

Bagaimana dengan kita, sudahkah kita mengenal baik bangsa kita sendiri?


 February, 4 2011

Moh. Nurul Shobah