Thursday, May 26, 2011

Mari Mengubah Jakarta!


Tgl 12 Mei 2011 yang lalu, Yayasan Interseksi kembali mengadakan Diskusi Dwi Bulanan, kali ini mengetengahkan permasalahan seputar tata kota Jakarta. Tema ini kami angkat karena DKI Jakarta sebagai daerah khusus ibu kota Indonesia tampaknya tidak pernah sepi dari masalah. Banjir, polusi, kemacetan, dan kesemperawutan tata kelola Jakarta menjadi isu yang tidak pernah selesai untuk dibahas. Memang ketiga masalah tersebut sepertinya selalu melekat sebagai permasalahan yang dihadapi oleh kota yang berpredikat sebagai ibukota di beberapa negara seperti Tokyo, Hongkong, Bangkok, dan Singapura.

Warga Jakarta, yang selama ini menjadi objek kebijkan Pemda DKI (Pemerintah Daerah), sudah selayaknya terbantu dengan peraturan-peraturan dan pembangunan sarana kota. Namun pada kenyataannya jauh dari harapan, justru banyak warga yang merasa dirugikan. Para pekerja yang beraktivitas di pusat kota, dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk menempuh perjalanan dari rumah menuju kantor, dan sebaliknya.

Pertambahan volume kendaraan pribadi seakan menihilkan anjuran pemerintah agar warga Jakarta menggunakan kendaraan umum untuk mengurangi kemacetan. Pembangunan sarana seperti Jalan Layang Non Tol (JLNT), selain menambah macet ruas-ruas jalan di ibu kota, secara tidak langsung mendorong orang untuk terus membeli dan tetap menggunakan kendaraan pribadi.


Keruwetan angkutan di Jakarta, sebetulnya sudah dapat diprediksi sejak bertahun-tahun yang lalu ketika Orde Baru masih berjaya. Dengan semakin terbukanya peluang terhadap investor swasta dan asing untuk berbisnis di Jakarta, pembangunan tidak berhenti di kawasan segitiga emas saja. Ini sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an hingga saat ini. Area yang dulunya pemukiman warga, disulap dan dibebaskan untuk kepentingan ekonomi. Tempat tinggal warga bergeser semakin jauh ke daerah suburban, seperti Bekasi, Depok dan Tangerang.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seakan tidak sanggup menahan gempuran para pemodal besar yang ingin menyulap Jakarta menjadi kota megapolitan tanpa memikirkan dampak-dampak buruk hasil pembangunan tersebut.


Ledakan Jakarta makin tak terkendali, selain permasalahan demi permasalahan semakin menumpuk, juga adanya pembiaran-pembiaran terhadap pelanggaran, dimanipulasi, diakomodasi atau diputihkan. Korupsi juga masih menjadi penyakit akut turun-temurun serta pembangunan prasarana selalu tidak tepat waktu karena ketidakmampuan organisasional dan rendahnya kemampuan antisipasi proaktif oleh birokrasi terkait.

Dalam beberapa hal, Jakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai pada sepuluh tahun terakhir dimana terjadi peningkatan pengetahuan dan pewacanaan khalayak tentang apa yang baik dan seharusnya dilakukan untuk kemajuan Jakarta. Sebagian warga yang frustasi mungkin menganggap bahwa sampai kapan pun segala permasalahan Jakarta tidak dapat dipecahkan, mengingat tidak ada tanda yang menunjukkan kemajuan. Perlu diketahui, sebagian warga Jakarta juga tahu bahwa segala permasalahan Jakarta sebenarnya dapat dibahas dan diselesaikan secara rasional. Bahwa perbaikan itu mungkin, dan seringkali benar, warga lebih tahu apa yang baik untuk tempat tinggalnya daripada birokrat itu sendiri.


Problem kesenjangan pengetahuan dan aspirasi antara birokrasi dan warga ini semakin lama menjadi faktor yang penting dalam pembangunan Jakarta. Oleh sebab itu, sebenarnya relatif mudah merumuskan semacam konsensus tentang beberapa pokok permasalahan tentang Jakarta.

Melihat segala persoalan yang dihadapi Jakarta, Marco Kusumawijaya (Direktur Rujak Center for Urban Studies) yang menjadi pembicara pada diskusi menyampaikan bahwa, perlu adanya langkah-langkah konkret antara lain dengan meningkatkan Radikalisasi Do-it-Yourself, Radikalisasi Advokasi, dan Radikalisasi Demokrasi (terwujudnya Participatory/Deliberative Democracy).

Tanpa menunggu instruksi pemerintah, warga Jakarta secara mandiri dapat mengadakan perbaikan-perbaikan sikap baik yang bersifat individual maupun kolektif masyarakat dalam rangka transisi ke abad ekologis. Partisipasi warga juga diharapkan tidak cukup hanya lima tahun sekali saat memilih pemimpin mereka dan sekadar menyampaikan aspirasi, namun juga disarankan terlibat aktif pada perumusan rencana kerja serta implementasinya.


Pada sesi tanya jawab, Selwa Kumar, menyampaikan bahwa perlunya masyarakat membuat semacam APBD tandingan sebagai alat kontrol semua pengeluaran Pemda agar berjalan efektif dan tepat sasaran sesuai dengan rancangan program yang telah disepakati bersama. Ibu Ning Purnomo, mantan dosen pasca UI yang juga aktivis lingkungan, sekarang aktif di GBCI, mengeluhkan pencemaran logam berat timbal hasil pembakaran mesin kendaraan yang bisa merusak kesehatan manusia, khususnya anak-anak.

Saat ini sudah cukup banyak warga yang aware tentang kondisi lingkungannya, mereka berusaha menyampaikan aspirasi, namun seringkali aspirasi mereka tidak sampai kepada para pengambil kebijkan dan pada akhirnya hanya menjadi angin lalu. Dalam hal ini, Direktur Yayasan Interseksi Jakarta, Hikmat Budiman, memberi tekanan pada konsep tentang warga negara yang aktif (active citizen), yang harus ikut menentukan nasib Jakarta. Meskipun saat ini telah cukup banyak upaya warga untuk memberi tekanan kepada pemerintah Jakarta, tapi upaya-upaya tersebut cenderung masih berjalan sendiri-sendiri. Sekian banyak kanal penyaluran aspirasi warga, dengan demikian, membutuhkan upaya lain, yakni agregasi kepentingan warga Jakarta sehingga desakannya bisa lebih kuat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Pada akhir diskusi, Marco Kusumawijaya kembali mengingatkan, bahwasannya masalah di Jakarta sudah jelas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah “Bukan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki Jakarta, akan tetapi bagaimana cara kita untuk mengubah Jakarta menjadi lebih baik untuk kehidupan anak cucu kita dimasa mendatang?”



Moh. Nurul Shobah
Tulisan ini merupakan Laporan Diskusi Dwi Bulanan Yayasan Interseksi, 12 Mei 2011.

Wednesday, May 11, 2011

Menembus Tirai Asap : Tak Ada Dendam, Kami Hanya Ingin Merdeka Seratus Persen!

Tahun 1965 merupakan salah satu tahun paling bersejarah di Indonesia. Pada masa itu, bisa dikatakan sebagai titik balik  dimana terjadi transisi kepemimpinan dari Orde Lama yang kemudian melahirkan Orde Baru.
Selama Orde Baru berkuasa, belum pudar dalam ingatan kita, tepat pada peringatan hari kesaktian pancasila, kita selalu disuguhi film dokumenter Pemberontakan G 30 S/PKI 1965. 

Bagi masyarakat awam, sejarah (yang masih diragukan keabsahannya) yang diperlihatkan melalui film dokumenter tersebut sudah melekat di benak meraka. Tidak mudah memang untuk meluruskan sejarah yang selama bertahun-tahun telah mengendap di hati masyarakat Indonesia.

Setelah era Orde Baru berakhir, tidak sedikit sejarawan yang mulai merasa perlu untuk menyampaikan kembali kepada masyarakat mengenai hal-hal yang masih ganjil dan apa sebenaranya yang melatarbelakangi lahirnya tragedi G 30 S/PKI 1965 serta siapa tokoh yang paling berperan besar dan menikmati hasil tragedi berdarah tersebut?

Pada awal reformasi, gencar tuntutan untuk merevisi dan mengevaluasi kembali sejarah Indonesia modern. Para sejarawan menganggap bahwa penilaian atas sejarah Orde Baru tidak akan dapat dilaksanakan sebelum memahami secara mendalam warisan kejadian-kejadian tahun 1965.
Namun sejatinya dampak dari peristiwa 1965 tidak dapat dimengerti hanya dengan menghitung berapa banyaknya orang yang dibunuh, diculik, mendokumentasikan peranan Negara atau mengkritik sejarah resmi.
Yang diperlukan adalah pelacakan sejarah itu sendiri.

Dalam hal ini,  Indonesia tidak dapat selamanya mengabaikan catatan dari berbagai individu yang terlibat, atau menyaksikan, ataupun selamat dalam tragedi besar ini.
Menembus Tirai Asap menyajikan kesaksian sebelas tahanan politik 1965 dari berbagai latar belakang yang menjadi survivor dari masa traumatis tersebut.

Berikut sedikit keterangan mengenai sebelas tapol 1965 yang diceritakan dalam buku ini;

Zubaidi Hasan adalah seorang pilot Indonesia pertama yang siap menerbangkan MIG-21FL, pesawat canggih buatan Rusia. Dididik selama tiga setengah tahun di Rusia untuk menjadi pasukan penyerang udara dalam rangka “Ganyang Malaysia”, Pilot Angkatan Udara berusia duapuluh enam tahun itu harus mendaratkan karirnya secara paksa dipenjara tanpa diadili. Semua itu terjadi hanya beberapa bulan setelah ia dilantik menjadi Letnan Dua  ditahun 1969.

Tahun 1965, Dewa Ngurah Djenawi bukan hanya seorang pelajar menegah atas yang cerdas dan berwawasan luas. Ia seorang aktivis seni, olah raga dan organisasi, yang disemangati oleh rasa patriotisme yang tinggi. Belajar sejarah dan politik dari berbagai perpustakaan di Gianyar, Bali. Ia tumbuh menjadi pengagum dan pendukung Bung Karno. Ia bergabung dalam IPPI dan ikut menerbitkan buletin Benteng Soekarno, justru pada saat posisi politik Presiden R
Republik Indonesia itu sedang goyah.
Ganjaran yang diterima siswa teladan ini adalah sepuluh tahun mendekam dalam penjara, empat tahun lebih lama dari vonis yang diterimanya.


Kusnah, seorang Ibu yang mempunyai tiga belas orang anak ini dipisahkan selama sebelas tahun dari keluarganya. Ia meringkuk dan dipindahkan dari satu tahanan ke tahanan lainnya, mengalami siksaan yang masih tersisa di badannya hingga kini. Semua itu terjadi karena perempuan lulusan sekolah dasar ini pernah aktif dalam oragnisasi serikat buruh perusahaannya dan menyangkal tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia.


Sebut saja namanya Hartono. Aktivis Pemuda Rakyat ini mempunyai kemampuan organisasi yang tinggi, sehingga sering menjadi panitia untuk menyambut tamu-tamu Negara. Di kampungnya, ia dianggap sebagai orang istana. Aktivis Front Nasional ini ikut terseret gejolak tahun 1965, setelah dikejar-kejar dan ditangkap pada tahun 1973, mulailah perjalanan Hartono sebagai seorang tapol sampai pembebasannya di tahun 1979.


Oei Hiem Hwie, Aktivis Badan Permusyawaratan kewarganegaraan Indonesia dan wartawan terompet Masyarakata ini bercita-cita mewujudkan cita-cita sosialisme ala Indonesia, sesuai anjuran Bung Karno. Tetapi arus politik di tahun 1965 menghanyutkannya selama tiga belas tahun ke penjara-penjara besar di Indonesia, tetrmasuk Nusakembangan dan Pulau Buru. Perubahan orientasi dari Tiongkok ke Indonesia, dan konfliknya menghadapi berbagai kelompok yang berseberangan di kota Malang menunjukkan pluralitas masyarakat Tionghoa dan dinamika politik di tahun 1960-an.


Girot Wuntu,  berkali-kali ia bolak-balik hijrah dari hutan ke panjara, di jaman Jepang, jaman Revolusi, jaman perang Permesta, dan di jaman pertumpahan darah pasca 1965. Sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia di Minahasa, Girot Wuntu sempat mendekam di penjara selama lima belas tahun lamanya.


Meriana, mantan Aktivis Organisasi Pelajar ini sedang menyusui bayinya ketika menjadi tapol dan terpaksa membawa bayinya dari satu penjara ke penjara lainnya selama dua tahun. Berkat kegigihannya, anak itu mendapat tempat yang aman di luar penjara. Setelah berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dari permainan kekuasaan dalam dua belas tahun masa tahanan, mulailah perjuangan sang Ibu untuk mendapatkan putranya kembali.


Ngatimin Hadipranoto, Kopral Dua ini mengalungi Satya Lencana Teladan dan mendapat penghargaan Kaca Perkasa. Ia pernah dikirim ke medan pertempuran di Aceh untuk menumpas pasukan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan di Medan untuk menghadapi “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia Perjuangan Semesta” (PRRI/Permesta). Tapi pergolakan tahun 1965 mengubah secara drastis statusnya. Ngatimin yang sebelumnya dibanggakan sebagai salah satu pasukan Negara kini harus menjadi tahanan politik.

Ratih adalah putri sulung seorang aktivis PKI. Ia ditangkap bersama ibunya oleh polisi, hanya selang satu hari setelah ayahnya diciduk Corps Polisi Militer pada tanggal 17 Oktober 1965. Sejak saat itu, Mahasiswa Kedokteran, Universitas Gadjah Mada yang juga aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) ini menjalani masa tahanan dari satu penjara ke penjara lainnya bersama sang ibu meninggalkan enam adiknya, Ratih bersama neneknya di rumah mereka di Yogya. Ratih hanya sempat sekali berjumpa dengan ayahnya, ketika truk yang mengangkat tapol dari penjara lain ke Wonosobo berhenti di tempat penahanan dia. Setelah bebas, Ratih mulai mencari jejak ayahnya dari satu tempat ke tempat lainnya.


Sartono, sebagai seorang pendatang dari Jawa di Irian Jaya di tahun 1969, Sartono (bukan nama asli) terkena rumus politik yang dikeluarkan oleh Pangdam Cendrawasih pada waktu itu., yaitu, “pendatang Jawa sebelum tahun 1965 adalah PKI Tugas, pendatang Jawa sesudah 1965  adalah PKI pelarian.” Maka masuklah bapak lima orang anak ini ke tahanan selama sembilan tahun, dari penjara Koblen di Surabaya, Nusakembangan, sampapi Pulau Buru. Walaupun getir dirasakan selama menjadi tapol, namun Sartono tidak pernah kehilangan semangat dan kegembiraan.


Sumilah, saat itu perempuan ini masih berumur empat belas tahun, ia dimasukkan ke penjara hanya karena kebetulan namanya sama dengan seorang guru yang dianggap terlibat peristiwa 1965. Sampai umurnya berlipat dua, gadis yang hanya sempat menyelesaikan sekolah sampai kelas empat sekolah dasar ini juga sama dengan lainnya, harus mendekam dari penjara ke penjara lainnya.


Hidup di tahanan memang jauh dari rasa aman dan nyaman, selama mendekam di penjara, mereka hanya mendapatkan tiga kali tiga suap nasi dengan lauknya hanya tahu dan tempe sehari.
mereka sering mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Disiksa dan diperlakukan layaknya hewan. Sebagian besar dari mereka ditangkap dan dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Ketika pertama kali sampai di tahanan, mereka langsung diinterogasi oleh tim dari kejaksaan. Anehnya, semua bentuk pertanyaan harus mereka jawab dengan kata-kata “iya, atau benar”, jika menyangkal, mereka hanya akan mendapatkan siksaan yang lebih parah. Bukan hanya siksaan terhadap dirinya sendiri, mereka juga mengalami kekerasan dan sikasaan mental, yaitu dengan dipaksa menyaksikan tahanan-tahanan lainnya disiksa dihadapan mereka sendiri. Trauma ini juga masih dirasakan oleh sebagian eks tapol 1965 hingga kini.

Setelah mereka dibebaskan dari tahanan, mereka masih harus merasakan siksaan psikis. Banyak masyarakat yang belum bisa menerima kehadiran mereka kembali. Stigma sebagai eks tapol PKI sangatlah menyiksa. Mereka masih merasa terjajah, tidak aman lahir dan batin, akan tetapi mereka mengaku tidak mendendam, namun yang mereka inginkan hanya satu, “Kami ingin merdeka seratus persen!”


Buku ini merupakan hasil wawancara yang dilakukan oleh H.D Sasongko dan para koleganya dengan sebelas eks tapol  (Tahanan Politik)1965 mengenai sekelumit kisah mulai dari awal penangkapan hingga mereka menjalani hari-hari yang mengenaskan selama menjalani tahanan. Kisah mereka mungkin luput dari pengamatan masyarakat luas. Beberapa kasus inilah yang menggelitik para sejarawan untuk meninjau ulang sejarah resmi Indonesia modern. Tentu masih banyak ribuan eks tapol yang masing-masing dari mereka mempunyai kisah pahit tersendiri.


Moh. Nurul Shobah

Monday, April 4, 2011

Pengusutan Pelanggaran HAM Berat Hanyalah Permainan Para “Kuasa Kegelapan”

HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan.

Paragraf  diatas  merupakan sinopsis ringkas dari sebuah buku karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H yang berjudul, “Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”. Sebuah catatan  menarik yang menggambarkan betapa HAM dan demokrasi tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membangun dan menguatkan peradaban umat manusiat di jagad raya ini.

Jelas menjadi suatu kewajiban Pemerintah untuk menegakkan HAM di negara demokrasi ini, namun realitasnya malah yang terjadi sebaliknya, Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru melalui perangkatnya, negara yang menjadi pelaku pelanggaan HAM. Di Indonesia, pada zaman orde baru masalah ini sepertinya sudah menjadi rahasia umum.

Membaca buku Stagnasi HAM Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia tahun 2001, mengingatkan kita akan beberapa kasus pelanggaan HAM berat yang seolah-olah sampai detik ini hanya dibiarkan saja tanpa ada upaya untuk mengusut tuntas siapa sebenarnya yang menjadi aktor intelektualnya. Beberapa kasus yang tidak mungkin kita lupakan adalah Pembantaian di Tanjung Priok, Kasus Pembantaian terhadap Jamaah Warsidi di Talangsari, Lampung, Kasus Trisakti atau yang dikenal dengan Kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, kemudian Kasus Penghilangan Paksa terhadap 14 Aktivis.

Sebenarnya secara kasat mata melalui laporan dari KOMNAS HAM, beberapa kasus diatas sudah dapat diketahui siapa saja aktor-aktor yang bermain dibalik peristiwa-peristiwa tersebut, namun sekali lagi, semuanya menjadi lunglai dan seperti lemah syahwat ketika kasus-kasus tersebut dibawa ke meja hijau. Mengapa demikian, sebelum menguraikan beberapa alasannya, menarik untuk membaca prolog buku Lapoan Tahunan KontraS tahun 2011 yang disampaikan oleh Mantan Calon Ketua KPK, Bambang Wijoyanto, SH, LLM.

Dalam sambutannya, Bambang mengatakan pengusutan beberapa kasus pelanggaan HAM berat di Indonesia tidak akan pernah bisa bejalan optimal jika “Kuasa Kegelapan” masih menduduki pos-pos strategis di republik Ini. Dengan jabatan yang mereka tempati, mereka mempunyai kekuatan untuk melindungi dirinya dari jeratan hukum.



Kegagalan Reformasi

Masa reformasi seharusnya menjadi kesempatan emas untuk melakukan reformasi hukum dan HAM secara fundamental, akan tetapi kekuasaan reformasi sepanjang tahun 2001 masih bertindak setengah hati, bahkan mungkin secara sengaja dan sistematis tidak melakukan usaha dan upaya yang sungguh-sungguh, terencana dan mendasar serta mengingkari penyelesaian kasus-kasus  kejahatan kemanusiaan masa lalu.

Didalam suatu poses transisi, problem dan konflik yang dihasilkan oleh penguasa masa lalu harus mampu dikelola dengan baik oleh rezim tansisional. Selain itu, pemimpin transisional juga harus dapat meletakkan dasar dan arah perubahan secara komprehensif, berkelanjutan dan konsisten pada nilai dan prinsip demokrasi. Di dalam konteks ini, keberhasilan dari rezim transisional, misalanya, salah satunya kemampuanmelakukan dealdengan kekuaasaan dalam menyelesaikan kejahatan kemanusiaan masa lalu dengan berbagai implikasinya yang dapat menjadi indikasi awal akan gagalnya kekuasaan dalam mewujudkan konsolidasi demokratik.

Melalui Partai politik yang notabene sebagai representasi masyarakat, kita berharap mereka  menyampaikan aspirasi agar kasus-kasus pelanggaan HAM berat harus tetap diusut sampai diketahuii jelas siapa pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Namun sayang sekali, harapan-harapan besar itu kemudian seolah-olah hanya menjadi mimpi di siang bolong tatkala kasus kejahatan kemanusiaan mengalami proses politisasi yang didasarkan atas“deal dan kompromi” politik diantara kalangan elit politik dan pemegang kekuasaan. Dengan begitu, suatu kasus kejahatan kemanusiaan tidak diletakkan dalam perspektif kepentingan korban kejahatan dan penegakkan HAM, tetapi sejauh mana elit politik tertentu mendapatkan suatu keuntungan politik atas sikap dan putusan politik yang dilakukannya.

Tentu saja dalam kompromi politik seperti ini, hukum tidak ditempatkan pada porsi semestinya, tetapi hukum hanyalah menjadi suatu komoditas bagi kepentingan politik kelompok tertentu. Selanjutnya, ujung dari tujuan hakiki penanganan kasus kejahatan kemanusiaan direduksi menjadi bagian dari komoditas dagangan politik semata. Miris, tapi memang inilah realitas yang sekarang kita hadapi, entah bagaimana nanti ujungnya.  

Pada akhir-akhir ini, kondisi hak asasi manusia di Indonesia secara umum sangatlah memprihatinkan. Ancaman terhadap pekerja dan aktivis pembela hak asasi manusia dan demokrasi meningkat selama tahun 2010. Ini termasuk ancaman terhadap wartawan yang mulai mendapatkan risiko kehilangan nyawa. Di sisi lain, kasus ancaman hingga kekerasan yang terjadi terhadap aktivis HAM dan demokrasi tak kunjung dapat diselesaikan. Hal ini sesuai dengan Laporan Tahunan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tentang situasi HAM tahun 2010. Dalam salah satu catatannya, KontraS menilai kekerasan HAM sepanjang tahun 2010 tidak hanya didominasi aparat negara, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap masyarakat sipil lainnya, (Kompas, Senin, 21 Maret 2011).

Masih segar dalam ingatan kita, tiga korban jiwa jatuh dalam aksi penyerangan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah pada Senin (7/2/2011) di Cikeusik, Kecamatan Pandeglang, Banten, sementara puluhan lainnya terluka. Pemerintah, melalui aparat keamanan yang kita harapkan menjadi pihak yang harus menjaga keamanan justru meng-absen-kan diri pada saat-saat yang diperlukan. Insiden ini menjadi tragedi terparah dalam kehidupan HAM dalam beragama di Tanah Air.

Sejauh ini masih dalam proses bagaimana hasil dari pesidangan kasus tesebut, sudah selayaknya para pelaku mendapatkan hukuman setimpal sesuai dengan perbuatan biadabnya.
Dalam perjalanan panjang yang akan dilalui negara demokrasi ini, apakah kondisi HAM dan demokasi serta pengusutan pelanggaran kejahatan kemanusiaan berat akan mengalami kemajuan? berkaca pada beberapa penanganan pada kasus-kasus sebelumnya yang berakhir pada kompromi politik, masih pantaskah kita optimis akan adanya kemajuan kondisi HAM dan demokrasi di Indonesia?



Moh. Nurul Shobah

Thursday, March 3, 2011

Antara Prestise dan Nasionalisme?


“Ada yang masih aku sayangkan.  Mungkin juga disayangkan oleh ribuan orang.  Mengapa kau hanya nulis dalam Belanda? Mengapa kau hanya bicara pada orang  Belanda dan mereka yang mengertinya? Kau tak berhutang budi sedikitpun pada mereka seperti pernah dikatakan oleh ibumu. Apa yang kau harapkan dari mereka maka kau selalu bicara pada mereka?”.  Seloroh Jean Marais kepada Minke.

Kemudian dengan nada tinggi dan sedikit memaksa Jean melanjutkan, “Kau Pribumi terpelajar Minke!, kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mreka jadi terpelajar. Kau harus, harus , harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu”.

Kalimat itu selalu menghantui Minke, membuatnya marah besar, gusar dan dirinya merasa dihina habis-habisan. Seorang terpelajar, berprestasi, lulusan sekolah H.B.S tidak pantas menulis melayu. Lagian siapa pula yang akan membaca jika Dia harus menulis melayu? Melayu hanya untuk orang-orang yang tidak berpendidikan, orang-orang miskin. Sedangkan masyarakat sudah terlanjur mengenal tulisannya dalam bahasa belanda yang indah, mendekati  sempurna. Bukan saja isinya yang berbobot, namun juga keindahan dan susunan katanya.

Pada kesempatan lain Jean Marais mengutarakan pendapatnya, bahwa tulisan melayu bukanlah kebudayaan yang rendah, karena ada wartawan keturunan Belanda yang juga dengan senang hati menulis melayu, Kommer namanya. Biarpun bukan warga keturunan asli Indonesia, Kommer dengan bangga menulis melayu. Ini dilakukan semata-mata karena begitu besar rasa cinta yang Dia miliki untuk bangsa Indonesia. Dia ingin memberikan pendidikan dan informasi kepada pribumi yang sebagian besar tak terpelajar. Mereka hanya tahu tulisan melayu dan sama sekali tidak mengerti bahasa belanda. 

Banyak terjadi ketidakadilan terhadap pribumi bukan hanya dilakukan oleh Kolonial akan tetapi pelakunya tidak jarang asli pribumi sendiri yang menghamba kepada Kolonial. Untuk itu Dia berhasrat kuat untuk selalu menulis melayu demi pribiumi. Kommer pula yang dulu turut menyebarkanluaskan perkembangan informasi terbaru  terkait hasil persidangan keluarga Nyai Ontosoroh atau Sanikem nama aslinya (red: Mama) serta menerjemahkan tulisan-tulisan advokasi Minke. Melalui tulisan melayu Kommer, Minke dan keluarga Nyai Ontosoroh semakin mendapatkan simpati  dari masyarakat luas. Bukan hanya pribumi sekitar Wonokromo tapi seluruh daratan jawa. Minke patut berterima kasih kepada Kommer.

Jean Marais sadar betul bahwa minke adalah aset Bangsa Indonesia yang sangat langka dan berharga. Pengalaman-pengalaman pribadinya dan keluasan pengetahuan serta kecerdasannya dalam menulis dan mengolah kata dapat dimanfaatkan untuk mengangkat harkat pribumi dari ketertindasan. Gaya tulisan Minke yang mirip multatuli semakin menegaskan bahwa Minke sangat berpihak kepada kemanusiaan, menolak kebiadaban, anti penindasan, fitnah dan kecurangan. Hal ini sangat disayangkan jika Minke harus menulis hanya dalam bahasa belanda yang banyak tidak dimengerti oleh pribumi.  Mereka hanya tahu tulisan melayu.

Ironis memang  jika masalah nasionalisme Minke justru malah sering dicekoki oleh Jean Marais, orang yang notabene bukan asli Indonesia. Jean asli Perancis, datang ke Indonesia menjadi tentara gabungan Belanda yang ditugaskan untuk menumpas kegigihan perlawanan rakyat Aceh, namun kemudian keluar dari pasukan Belanda karena merasa bahwa kolonialisme adalah kebiadaban yang harus dilenyapkan dari muka bumi.  Kakinya pincang akibat peperangan yang ia jalani. Jean Marais kemudian berteman dekat dengan Minke, dan cukup berpuas diri menjadi pelukis.

Minke memang semakin dikenal luas, setelah aktif meng-update perkembangan berita hasil persidangan yang melibatkan perseteruan antara Ir. Maurits Mellema dengan Nyai Ontosoroh yang tidak lain adalah mertuanya sendiri dalam  kasus perebutan aset kekayaaan.  Sebenarnya ini bukan perseteruan tapi lebih tepat  dikatakan  sebagai tindakan kesewenang-wenangan kolonial dalam merampas hak pribumi.  Begitulah yang namanya kolonial, dimana-mana selalu menjadi iblis, kejam dan biadab. Melalui tulisan-tulisannya, Minke kemudian dikenal luas sebagai pribadi yang genius.

Dilema memang jika Minke harus menulis melayu, walaupun jauh hari sebelum Jean Marais memaksanya, Ibundanya sendiri telah memintanya untuk melakukan itu, namun harapan ibunya tidak diindahakan. Tetap saja Minke pada pendiriannya bahwa melayu hanya untuk orang yang tidak berpendidikan. Dan Minke tidak termasuk dalam golongan itu. Minke adalah siswa teladan, dengan segala kecerdasan dan prestasinya, menulis melayu hanya akan menurunkan prestisenya. Minke tetap bersandar dan bertahan pada keegoisannya.

Suatu waktu pada obrolan kecil, Kommer mengatakan, “Minke, sudah saatnya kau menulis melayu, bicaralah pada bangsamu sendiri, kau lebih dibutuhkan bangsamu sendiri daripada bangsa apa dan siapapun, Kau harus lebih mengenal bangsamu sendiri Minke”.

Pernyataan Kommer Tentu saja sontak membuat Minke shocked dan hatinya tertusuk tiada tara. Bagaimana tidak, Dia yang sedari lahir sampai hidupnya sekarang menghabiskan waktunya di negaranya sendiri dikatakan sebagai orang yang tidak mengenal bangsanya sendiri. Menyakitkan tapi mungkin memang begitulah nyatanya. Minke tidak sadar akan hal itu. Dia tetap bergeming bahwa Kommer salah menilai dirinya. Minke hanya asyik mempelajari dan membanggakan budaya Eropa dan Negara-negara diluar sana, sedangkan dengan bangsanya sendiri, Dia hanya dapat melihat dari permukaan luarnya saja, tanpa tahu apa yang mereka rasakan, jalani dan pikirkan. Namun Dia yakin pada pendiriannya, suatu saat jika sudah tiba waktunya, Minke akan membuktikan bahwa semua yang disangka Kommer keliru.

Liburan di Tulangan

Tak pernah terfikirkan sebelumnya jika Mama akan mengajaknya jalan-jalan melepas penat. Karena Minke mengenal betul siapa mertuanya. Mama dilihatnya sebagai sosok yang ulet, giat bekerja, serius, dan praktis Minke tak pernah menjumpai mama bercanda, barang sekalipun, terlebih setelah Annelies meninggalkannya untuk selamanya. Walapun Minke terlibat banyak hal dalam pengelolaan perusahaan pribadinya, namun secara keseluruhan Mama lah  yang mengontrol laju operasi perusahaan. Memang Minke dan Mama terlalu letih memikirkan masalah yang datang bertubuitubi seolah-olah enggan menghindar dari keluarga kecil itu.

Dalam beberapa hari kedepan Mama mengajak Minke liburan ke Tulangan, sidoarjo, berkunjung ke rumah orang tua Mama, meskipun sebenarnya Mama sendiri sudah tidak memperdulikan apakah ia masih mempunyai orang tua atau tidak, yang ada dipikirannya adalah ingin sekali menghirup udara luar, jauh dari lingkungan tempat tinggalnya sendiri. Sekedar me-refresh pikiran barangkali.

Minke harus berterima kasih kepada Mama, sebab Di Sidoarjo, Minke menememukan banyak hal baru yang luput dari pengamatannya. Pada liburan ini, minke berkesempatan untuk lebih jauh mengenali bangsanya sendiri. Cerita memilukan sebagai seorang gundik yang dulu dialami oleh mertuanya ternyata harus terulang kembali. Kali ini menimpa Surati yang tak lain adalah kemenakannya Mama. Bukan Minke namanya jika apa yang dilihatnya tidak ditulis, kisah penjualan harga diri Surati oleh Bapaknya, Paiman, kepada Tuan Besar Kuasa Administratur, Frits Homerus Vlekkenbaaij, atau masyarakat Sidoarjo lebih senang memanggilnya Tuan plikemboh, digambarkan secara apik nan empatif dalam novel ini.

Pada suatu kesempatan lain, Minke berjalan menyusuri desa-desa di Tulangan. Langkahnya terhenti oleh suara teriakan dari salah satu rumah bambu. Karena penasaran, Minke menghampiri rumah tersebut. Penghuninya seorang petani bernama Trunodongso, mungkin satu-satunya petani yang berani melawan pegawai pabrik tebu. Pada masa itu, setiap petani harus menyewakan sebagian besar lahannya untuk ditanami tebu demi kepentingan dagang Belanda.

Berbeda dengan petani-petani lainnya, Truno berani melawan kebijakan pabrik gula, bahkan dengan nyawanya sendiri Dia rela berkorban demi mempertahankan pendiriannya. Truno selalu mengacungkan parang jika ada utusan/pegawai pabrik gula yang datang ke rumahnya bermaksud menyewa ladangnya. Saat itu memang tak ada petani lain yang berani melawan seperti Truno. Truno patut berbuat itu,  Lain daripada petani kebanyakan, Trunodongso enggan menyewakan tanahnya untuk kepentingan pabrik gula. Bukan tanpa alasan, karena perusahaan gula selalu melakukan Wan Prestasi. Perjanjian sewa selama 18bulan, secara sepihak diperpanjang menjadi 24bulan. Ini juga diperparah dengan realisasi uang yang diberikan jauh dibawah standar dari harga sewa tanah yang telah disepakati dalam perjanjian.  Trunodongso adalah satu dari sekian banyak penderitaan yang dialami oleh para petani.

Dari pengalaman berinteraksi secara langsung dengan penderitaan Truno, minke menyadari bahwa apa yang dulu disampaikan Kommer jika dia tidak mengenal bangsanya sendiri adalah tidak salah. Sebagai sesama pribumi, dengan modal sebagai jurnalis, Minke berkeinginan agar suatu saat nanti dia dapat menulis di rubrik khusus mengenai kasus Truno di surat kabar yang selama ini menampung tulisannya, setidaknya melalui tulisannya diharapkan dapat sedikit membantu beban para petani.

Sepulang dari Liburan di Tulangan, Minke langsung menemui Marteen Nijman, pimpinan redaksi surat kabar S.N v/d D, tempat yang sejauh ini bersedia menampung segala ide dan karya-karyanya. Ketika ditunjukkan naskah cerita tentang kehidupan Trunodongso, seketika Nijman mengernyitkan dahi. Dia mengatakan bahwa tulisan ini akan berdampak besar pada keberlangsungan pabrik gula. Cerita Truno berpotensi membangkitkan semangat kaum petani untuk bergerak secara massif melawan atau bahkan menghancurkan pabrik gula.

Haram hukumnya bagi Nijman untuk mempublikasikan tulisan Minke yang beraroma menggugat perusahannya sendiri. Dengan naif, akhirnya Nijman menyampaikan kepada Minke bahwa kali ini S.N v/d D tidak bisa memuat karyanya. Belakangan Minke tahu bahwa S.N v/d D adalah surat kabar dibawah naungan pabrik gula. Surat kabar ini seolah-olah menjadi juru bicara kolektif melalui tulisan-tulisan yang dibuat demi menjaga nama baiknya, mempertahankan keberlangsungan perusahaan gula itu sendiri. Nijman akan meloloskan semua tulisan dari siapapun sebatas dia tidak mengancam operasional pabrik gula.

Akhirnya Minke sadar betul, bahwa media ini tidak idealis atau setidaknya berperan sebagai media massa pada lumrahnya. Sama sekali dia tidak menyangka, bahwa ternyata tanpa disadari Dia secara langsung terlibat menjadi bagian dari proyek kolonialisme.
Sungguh Menyakitkan!

Pengalaman-pengalamannya melihat ketidakadilan selama liburan di Tulangan, setidaknya membuka hati Minke bahwa banyak yang tidak beres di negerinya. Ada sesuatu yang harus dia lakukan. Pada akhir cerita, tidak dijelaskan secara rinci, apakah demi bangsanya, akhirnya Minke bersedia menulis melayu atu tidak.
Lembar-lembar berikutnya, novel ini banyak menggambarkan seputar perlakuan tidak adil yang harus diterima oleh pribumi akibat kebiadaban kololial Belanda. Kembali, seperti pada novel sebelumnya “Bumi Manusia”, kisah dalam “Anak Semua Bangsa” pun diakhiri dengan kejadian pedih, yaitu perampasan asset perusahaan Mama yang dengan jerih payah bertahun-tahun Ia kembangkan, harus diserahkan kepada anak mendiang suaminya dari istri pertamanya di Belanda, Ir.Maurits Mellema, sesuai dengan keputusan pengadilan yang telah ditetapkan.


Tulisan ini merupakan ringkasan dari salah satu novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Anak Semua Bangsa. Tentu Banyak pesan moral didalamnya, namun saya lebih tertarik dengan konflik batin yang dialami Minke terkait dengan dorongan kuat dari orang-orang yang berada disekelilingnya agar Minke menulis dalam bahasa melayu demi Bangsanya. Disisi lain Dia masih berpegang kuat pada pendiriannya, bertahan pada keegoisannya bahwa Dia, mantan siswa H.B.S, sekolah paling prestisius pada jamannya, samasekali tidak layak menulis melayu karena hanya akan menurunkan martabatnya.
“Tulisan melayu hanya untuk kalangan pribumi tak terpelajar”, ujarnya.

Bagaimana dengan kita, sudahkah kita mengenal baik bangsa kita sendiri?


 February, 4 2011

Moh. Nurul Shobah

Tuesday, February 8, 2011

Being Activist…?? Why Not..??!!

Banyak orang bilang masa paling indah dan bersejarah adalah masa SMA. Boleh jadi benar, karena pada masa tersebut telah terjadi perubahan hormonal secara besar-besaran dalam tubuh kita, sehingga rasanya kita ingin sekali tampil beda dan mengesankan di depan orang lain, wabil khusus di depan lawan jenis. Bagi mereka yang baru mendapatkan cinta pertamanya di SMA, mereka akan bilang, “my best moment in my whole life is when I was in Senior High School”.
Diwaktu SMA, mungkin sebagian dari sahabat telah mengenyam banyak pengalaman, karena terlibat aktif dalam organisasi siswa, seperti OSIS, Pramuka, organisasi intra maupun organisasi ekstra lainnya.

Namun ada masa yang tak kalah jauh lebih indah sebenarnya, jika kita sendiri mempunyai keinginan kuat untuk menciptakan pengalaman-pengalaman hebat. Ya, masa itu adalah masa yang sekarang telah dan akan sahabat jalani sampai beberapa tahun yang akan datang. Saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus, entah disadari atau tidak dalam perjalanannya nanti, masa kuliah akan mengajari sahabat banyak hal tentang kehidupan yang sesungguhnya.
Banyak waktu yang akan sahabat habiskan, idealnya banyak pula input knowledge, valuable experiences yang membuat sahabat lebih matang untuk menapaki kehidupan selanjutnya di fakultas kehidupan.

Predikat sebagai Agent of Social Change tidak akan pernah hilang selama sahabat menjadi mahasiswa. Titel yang sangat prestisius, karena tidak semua orang mendapat kesempatan untuk menjadi mahasiswa. Sebagai kaum intelektual muda yang diharapkan nanti akan menjadi generasi penerus para pemimpin bangsa. Untuk itu, sudah seyogyanya sahabat berusaha memaksimalkan waktu yang begitu singkat untuk tidak hanya sekedar belajar di bangku kuliah, namun mencari ilmu dan pengalaman lainnya di luar kelas.

Secara umum, terdapat tiga karakteristik mahasiswa. Yang pertama adalah Mahasiswa Akademis, sebutuan ini biasanya dialamatkan untuk mahasiswa yang hanya sibuk dan asyik dengan kegiatan kuliahnya, tidak ada aktivitas lain selain berkutat dengan seputar pelajaran di kelas, apa yang ada di pikirannya adalah bagaimana mereka dapat lulus secepatnya dengan perolehan IPK setinggi-tingginya.
Tidak salah memang, tapi alangkah ruginya jika masa kuliah sahabat (masa-masa emas pengembangan diri) yang harusnya memberi sahabat banyak pengalaman, namun hanya dihabiskan di bangku kuliah tanpa mendapatkan ilmu-ilmu berharga yang lainnya, padahal masih banyak ilmu-ilmu terapan yang hanya bisa kita dapatkan di organisasi.

Yang Kedua, Mahasiswa Organisatoris. Sebutan untuk mahasiwa yang hanya aktif dengan kesibukannya di organisasi, kuliah hanya di jadikan sebagai aktifitas seperlunya, mereka menganggap bahwa kuliah adalah hal yang sepele, remeh, mudah. Bagi mereka menunaikan tanggung jawab di organisasi adalah hal yang paling mutlak untuk di dahulukan dari pada tanggung jawab lainnya.
Sebagai sarana untuk memperkuat kapabilitas, menurut penulis, menjadi Mahasiswa Organisatoris adalah hal yang tepat, namun jika tidak diimbangi dengan kapasitas intelektual, maka akan mengurangi daya saing sahabat untuk berkompetisi dimasa mendatang, karena mau tidak mau tugas utama sahabat sebagai mahasiwa adalah belajar, setidaknya sahabat menguasai bidang disiplin ilmunya.

Yang Ketiga, Mahasiswa Akademis dan Organisatoris. Predikat ini yang paling ideal, karena selain tugas utamanya sebagai mahasiwa yang harus mendalami bidang ilmunya, mereka juga sibuk dengan menggali potensinya di luar bangku kuliah. Mereka terlibat aktif di organisasi, karena bagi mereka, organisasi adalah tempat yang paling nyata untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kemampuan dan bakat-bakat terpendamnya, mengimplementasikan teori-teori yang mereka pelajari di bangku kuliah, sebagai wujud aktualisasi diri.

Nah, dengan melihat kekurangan dan kelebihan tiga karakteristik mahasiswa diatas, sejauh ini sahabat berada di kelompok yang mana??
Jika sahabat masih tergolong hanya sebagai mahasiswa Akademis ataupun Organisatoris, belum terlambat, sahabat masih mempunyai waktu untuk dapat mengambil keputusan yang tepat, sehingga tidak akan menyesal di kemudian hari.

Hampir bisa dipastikan akan timbul persoalan baru jika sahabat menjadi mahasiswa Akademis dan Organisatoris, terutama menyangkut pembagian waktu, how to allocate our time to study and to do our organizational assignments??

Tidak jarang, sahabat akan dibenturkan dengan tanggung jawab yang harus diselesaikan pada waktu yang bersamaan. Katakanlah satu sisi sahabat harus mengerjakan tugas kuliah, dan disisi lain sahabat dituntut untuk menunaikan kewajiban sebagai pengurus organisasi. Jangan khawatir, pada masa-masa awal ketika penulis memasuki dunia organisasi, penulis juga merasakan hal yang sama, namun seiring berjalannya waktu, semuanya dapat terlaksana dan justru ini menjadi the art of organization dan kesan tersendiri bagi penulis sebagai mahasiswa yang harus pandai mengatur waktu dan tegas mengambil sikap.


The art of organization


Manajemen, Menurut James A F Stoner dalam bukunya yang berjudul "Management", mengungkapkan bahwa Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumberdaya-sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan bersama.
Sedangakan organisasi secara umum merupakan sebuah wadah atau lembaga yang didalamya berisi anggota-anggota yang melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan memaksimalkan segala potensi yang ada.

Berbicara teori manajemen, walaupun banyak ahli yang telah menguraikan tentang teori tersebut, namun kita tidak akan bisa lari dari George R. Terry, dengan konsep POAC (Planning, Organizing, Actuating, Controlling), kemudian Louis Allen dengan konsep POLC (Planning, Organizing, Leading, Controlling), serta Harrold K dan Cryll O’Donnel dengan konsep POSDLC (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Leading, and Controlling).

Penulis tidak akan membahas panjang lebar tentang teori-teori diatas, karena penulis meyakini bahwa sahabat sudah mempunyai pnegetahuan yang lebih dari cukup dari para dosen yang mengajar mata kuliah tersebut. Yang ingin penulis tekankan, bahwa terkadang keadaan di lapangan jauh berbeda dengan apa yang ada ada dalam teori.
Masalah yang terlihat kecil akan menjadi besar jika kita tidak pandai mengelolanya, perlu kedewasaan dan kearifan untuk meecahkan persoalan secara bersama-sama. Pelajaran seperti ini yang sahabat-sahabat tidak akan pernah peroleh di dalam bangku kuliah yang hanya berkutat dengan teori tanpa memperdulikan aspek praktek di lapangan.

Yang perlu diketahui dan menjadi benang merah adalah bahwa kita harus tahu dan sadar betul peran dan posisi kita dalam organisasi, harus ada rencana dan tujuan yang nyata, job description yang jelas, komunikasi yang sehat, serta aspek yang tidak kalah penting adalah faktor kebersamaan dan kekeluargaan yang sudah tertanam bertahun-tahun dalam tubuh PMII KOMFEIS dan disadari ataupun tidak ini menjadi intangible assets yang justru terkadang menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi. Semangat tersebut harus senantiasa dipertahankan atau bahkan mungkin senantiasa ditingkatkan.

Sebagai salah satu alumnus yang pernah berkecimpung di PMII KOMFEIS, penulis menyarankan agar setelah mengikuti training Manajemen Organisasi ini, sahabat dapat membuka cakrawala berfikir seluas-luasnya. Sangat jelas bahwa sahabat adalah Agent of Social Change, sebagai motor penggerak bangsa. Dengan alokasi waktu kuliah yang begitu singkat, manfaatkanlah untuk tidak hanya aktif dalam diskusi-diskusi di bangku kuliah, namun sahabat harus menggali potensi, memupuk kreatifitas, meningkatkan skills, kapasitas dan kapabilitas dengan mencemburkan diri di organisasi, dan mencobalah untuk mengambil peran yang lebih besar. PMII KOMFEIS adalah tempat yang paling tepat untuk mengasah diri, sehingga masa kuliah juga menjadi masa yang indah dengan sejuta pengalaman.

Terakhir, semoga tulisan singkat ini dapat kembali membangkitkan gairah sahabat untuk tertantang menjadi yang lebih baik dari pada generasi-generasi sebelumnya.

Salam Semangat..!!!

Oleh Moh. Nurul Shobah

* Disampaikan pada training Manajemen Organisasi (MO) yang diadakan oleh PMII KOMFEIS Cabang Ciputat, 20-21 Nopember 2010, di Tebar Iman, Cimanggis.
Tulisan ini jauh dari kesan formal, agar lebih santai dan mudah dipahami peserta.

Tuesday, January 18, 2011

Seni dan Teknologi, Bukan hanya sekedar hiasan ataupun hiburan

Jika kita berbicara masalah “Seni”, pikiran kita langsung tertuju pada sesuatu yang terkait dengan hiasan atau hiburan. Karena dua karakter itu sudah demikian melekat pada seni itu sendiri. Berkaitan dengan karakter tersebut, seni biasanya hanya digunakan sebagai sarana keindahan, keserasian, kenyamanan, kepuasan batin, apalagi jika kita dapat menikmatinya dengan bersantai sembari melupakan segala permasalahan hidup. Dengan menikmati seni, memang seakan-akan saat itu kita terlepas dari segala masalah yang dapat mengusik pikiran.

Bukan hanya sekedar untuk hiasan dan hiburan, lebih dari itu tak jarang terdapat makna tersembunyi dan mendalam dari sekedar keindahan bentuk tampilan karya seni secara fisik atau peragaan yang katakanlah hanya dapat dinikmati oleh mata telanjang. Selain itu, seni juga dapat digunakan seseorang untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, entah politik, berkaitan dengan budaya, atau bahkan keepentingan bisnis. Seni juga dapat dijadikan media alternatif untuk mengkampanyekan kepentingan-kepentingan untuk perubahan sosial.

Sering kita mendengar seni musik dengan lirik-lirik keresahan dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan penguasa, seni tari dengan pesan religiusnya, atau seni lukis yang mengkampanyekan perdamain atau menjaga keseimbangan alam, dan masih banyak seni-seni yang lain dengan segala ekspresinya.

Pada hari Kamis, 13 Januari 2011, saya mengikuti diskusi bertajuk “Seni, Teknologi dan Aktivisme”, acara ini merupakan rangkaian acara satu bulan penuh yang diadakan oleh Ruangrupa untuk memperingati 10tahun eksistensinya di jagat kota metropolitan ini.

Menjadi menarik karena salah satu pembicaranya adalah salah satu Seniman sekaligus pemerhati lingkungan dari Bandung, Tisna Sanjaya. Selain melukis,
Dalam kesehariannya, pria berambut gondrong ini juga aktif mengasuh sekaligus sebagai pengisi acara di sebuah televisi lokal.
Tisna sering memerankan diri sebagai tokoh legendaris tatar sunda, Si Kabayan.

“Dalam adegan film, Kabayan sering bertengkar dengan mertuanya, namun saya ingin mengubah image itu, saya ingin menjadi seorang Kabayan yang care dengan lingkungan sekitar dan keseimbangan alam” ujarnya dengan nada humor.

Globalisasi seakan enggan bersahabat dengan alam sekitar. Pertumbuhan penduduk di Bandung dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan tajam. Dengan citranya sebagai “Paris Van Java”, sebagai kota pusat mode di Indonesia, menjadikan Bandung mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas dan sering kedatangan tamu bukan hanya dari kota-kota terdekatnya, namun juga dari ibu kota, dari luar jawa bahkan tidak sedikit turis asing berkunjung.
Melihat potensi pasar yang begitu besar, menjadikan para pemodal besar dengan antusias menggandeng pemerintah setempat untuk berlomba-lomba membangun unit-unti produksi baru. Pembangunan komplek perumahan tersebar dimana-mana, apartemen-apartemen dan pusat-pusat perbelanjaan tak terbendung, semuanya dilakukan dengan membabi buta tanpa memikirkan bagaimana agar keseimbangan alam tetap terjaga.

Dalam perjalanannya menjadi kota metropolitan, salah satu daerah yang kemudian menjadi tumbal keserakahan kapitalis besar Bandung adalah desa Cigondewah.
Sebagaimana cerita masyarakat setempat, tempo dulu Cigondewah adalah desa yang sangat asri, pepohonan rindang ada dimana-mana, disana mengalir sungai-sungsi yang jernih airnya, hamparan sawah hijau nan luas menghasilkan padi dengan kualitas rasa yang istimewa. Namun semua ini tinggal kenangan, seakan mimpi buruk yang benar-benar menjadi nyata. Cigondewah menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.

Beratus-ratus ton setiap harinya sampah berdatangan dari seluruh penjuru Bandung dan konon katanya sampah dari ibu kota juga berdatangan ke tempat ini. Bisa dibayangkan dulu Cigondewah adalah kawasan yang sehat, kini dalam sekejap menjadi lautan sampah. Tak bisa lagi kita temukan persawahan, air jernih, sungai dan rindang dedaunan pohon, sekarang yang tampak hanyalah tumpukan sampah dengan segala resiko yang akan di tanggung oleh masyarakat sekitar.

Keresahan ini menggugah sanubari Tisna Sanjaya untuk mengangkat nya menjadi tema dalam film-film dokumenter yang ditayangkan oleh tv lokal,
Gayung bersambut, karena film-film dokumenter hasil garapannya juga diminati oleh masyarakat sekitar.

Saat ini, selain tetap melukis, pria yang selalu tersenyum saat menyampaikan ulasan, telah membeli tanah berukuran 560m2 di daerah Cigondewah. Bersama warga sekitar dengan semangat tinggi menanami bermacam-macam pohon, membuat taman bermain anak, dan tetap berusaha untuk selalu menjaga keseimbangan alam, sehingga kelak cita-citanya dapat terwujud, yaitu mempunyai taman wisata bernama “Pusat Kebudayaan Cigondewah”.


Pembicara kedua dalam diskusi ini adalah Hilmar Farid (Sejarawan/Ketua ISSI),
Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Tisna Sanjaya,
Dalam papernya Dia lebih menyoroti tentang kemajuan teknologi yang tak dapat dibendung lagi. Perkembangan teknologi komunikasi dan informatika serta kemunculan yang sangat fenomenal dari situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter, sedikit banyak telah mempengaruhi pola perilaku manusia.
Dalam banyak hal memang kemajuan teknologi membawa manfaat besar bagi anak manusia. Jarak menjadi masalah yang tidak terlalu penting utk dipersoalkan, semuanya terasa dekat, mudah dan cepat.

Melihat kasus seorang Ibu di AS membunuh bayinya hanya karena merasa terganggu oleh tangisan suara anaknya saat dia sedang asyik bermain facebook.
Kemudian dalam beberapa contoh lain, hampir sebelum tidur dan sesaat setelah bangun tidur, terasa janggal jika kita belum membuka akun facebook atau twitter , entah sekedar check status, melihat status teman atau mungkin kita sendiri selalu aktif memperbaharui status. Seolah-olah ada sesuatu dorongan untuk mengharuskan melaporkan semua aktifitas yang sedang kita kerjakan, juga tentang perasaan atau hal-hal lain yang rasanya memang perlu kita share dengan orang lain. Inilah trend yang memang harus kita akui.

Tampak Jelas teknologi bukan hanya semata-mata sebagai alat yang digunakan manusia untuk kepentingannya, namun teknologi menjadi bagian yang sangatlah penting bagi manusia, seakan teknologi tak dapat dipisahkan dan sudah menyatu dengan jiwa manusia.

Jika berbicara masalah keterkaitan antara teknologi dengan aktivisme, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana teknologi ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyampaikan pesan demi terciptanya perubahan sosial? atau bisajadi kita sendiri yang asyik bermain, lupa diri dan hanyut dalam fantasi teknologi?

Masalah yang kita hadapi dalam era globalisasi digitalisasi ini ialah adanya informasi yang melimpah ruah. Kita dapat mencari atau menemukan informasi dari media apa saja dengan cepat, namun yang menjadi PR adalah bagaimana sebisa mungkin kita dapat mengalokasikan waktu untuk mengelola informasi tersebut kemudian kita kupas, kita olah dengan analisis-analis sehingga menjadi informasi yang berbobot.

Sering tanpa kita sadari ternyata kita sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di depan komputer untuk kegiatan yang kurang bermanfaat. Memang waktu seakan berjalan begitu cepat dan hilang kesempatan kita untuk membaca buku atau melakukan aktifitas yang tak kalah penting sebenarnya.
Hal lain yang harus kita ketahui, bahwa semakin lama kita menghabiskan banyak waktu di dunia maya, semakin banyak pula waktu yang kita habiskan untuk bekerja gratis, tanpa dibayar, karena dalam hal ini, kapital digital yang semakin diuntungkan. Semakin sering kita meng-click, semakin besar keuntungan yang akan mereka dapatkan.


Sejauh ini gerakan sosial memandang bahwa teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyadarkan kelmpok sosial karena mereka menganggap kekurangan informasi adalah pangkal masalahnya, namun dalam era digital sekarang informasi begitu mudah didapatkan.
Seyogyanya kita menggunakan teknologi dengan memanfaatkan sebaik-baiknya, tidak kemudian kita larut dalam arus percepatan teknologi tersebut.
Strateginya bukan menambah informasi tapi menyediakan waktu untuk mengatur dan mengelola informasi tersebut

“Semua ini hanya mungkin jika kita tidak hanyut dalam percepatan. Perlu usaha sadar untuk memperlambat gerak dan mengendalikan arus secara kolektif. Produksi makna di dunia maya perlu diimbangi gerak bermakna di dunia nyata, agar kita tidak menjadi yang paling cepat tapi hanya jalan di tempat”, aku Hilmar Farid.


Sesuai dengan uraian-uraian yang disampaikan oleh kedua pembicara,
Baik Tisna Sanjaya maupun Hilmar Farid menyatakan bahwa jelas antara seni dan teknologi mempunyai keterkaitan erat dengan upaya perubahan sosial. Baik seni maupun teknologi mempunayi peranan penting sebagai media alternatif dalam menyampaikan ide, gagasan, dan aspirasi baik itu individu ataupun kelompok sosial. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita dapat menggunakan seni dan teknologi agar dapat secara efektif menyampaikan pesan moral demi terwujudnya perubahan sosial yang kita cita-citakan.



Moh. Nurul Shobah

Friday, January 7, 2011

Salam Hangat Temans.....

Atas saran beberapa teman, akhirnya kubuat blog ini.
Aku bukanlah orang yang pandai mengelola sebuah blog,
akan tetapi setidaknya, melalui medium ini aku akan mencurahkan, menumpahkan segala apa yang berkecamuk dalam pikiran, apa yang kulihat, apa yang kudengar, tentang rasa, tentang kegalauan, perlawanan, kepedihan, resah-gelisah, bahagia-gembira, tentang cinta dengan segala geloranya dan tentang rindu-syahdu menggebu hingga haru-biru, dan yang paling penting tentunya secuil pemikiran untuk masyarakat, negara kita, tanah air Indonesia.
Dalam perjalanannya nanti, aku berharap apa yang ku coret di lembaran-lembaran ini dapat menjadi bahan perenungan untuk diriku sendiri dan para pembaca tentunya.
Semoga membawa kemanfaatan untuk kita semua.


Tanah Abang, 8 Januari, 2011

Mas Banu